Bupati Talaud Kena OTT KPK

Jakarta, (WRC) – Bupati Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara (Sulut), Sri Wahyumi Maria Manalip ditangkap KPK. Sri dijerat dalam operasi tangkap tangan (OTT).

“Itu penangkapan, bukan OTT. Lagi acara di suatu daerah, tiba-tiba dia ditangkap,” kata Ketua DPP Hanura, Benny Ramdhani, ketika dimintai konfirmasi, Selasa (30/04/19).

Benny mengaku belum tahu latar belakang penangkapan bupati yang juga kader Partai Hanura itu. Dia pun meminta KPK segera menjelaskan hal ini.

“Tadi saya minta KPK segera menjelaskan ke publik,” ucapnya.

Kabiro Humas KPK Febri Diansyah belum memberikan respons terhadap hal ini, Begitu pun seluruh pimpinan KPK yang dihubungi secara terpisah.

Dalam OTT, KPK membutuhkan 1 x 24 jam untuk melakukan pemeriksaan awal bagi mereka yang terjaring OTT. Setelah itu, KPK akan menentukan status hukum mereka apakah menjadi tersangka atau hanya sebagai saksi.

Pengumuman tersangka bagi mereka yang terkena OTT biasanya akan disampaikan KPK dalam konferensi pers keesokan hari setelah OTT.

(dhn/fjp)

 

Sumber : detik.com

KPK Sita Dokumen Perdagangan Gula dari Ruang Mendag Enggartiasto

Jakarta, (WRC) – Tim penyidik KPK menyita sejumlah dokumen dari kantor Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita. Salah satu dokumen yang disita terkait perdagangan gula.

“Sejauh ini diamankan dokumen-dokumen terkait perdagangan gula,” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, pada hari Senin (29/04/19).

Penggeledahan itu, disebut Febri, sebelumnya terkait kasus suap yang menjerat anggota DPR Bowo Sidik Pangarso. Febri menyebut penggeledahan itu dilakukan sebagai tindak lanjut dari fakta yang muncul dalam proses penyidikan.

“KPK perlu lakukan penggeledahan hari ini untuk menindaklanjuti beberapa fakta yang muncul selama proses penyidikan. Bukti-bukti yang relevan, seperti dokumen-dokumen terkait, di sana perlu kami cermati. Ini bagian dari proses verifikasi atas beberapa informasi yang berkembang di penyidikan,” ucap Febri.

Sementara itu, Enggartiasto ketika ditemui di kompleks Istana Kepresidenan menyatakan mengetahui tentang penggeledahan itu. Namun dia mengaku tidak tahu apa yang dicari KPK.

“Belum (dapat kabar),” kata Enggartiasto.

Dalam perkara ini, Bowo menjadi tersangka di KPK karena diduga menerima suap dari Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasti lewat seorang bernama Indung. KPK juga telah menetapkan Asty dan Indung menjadi tersangka.

Asty diduga memberi Bowo duit Rp 1,5 miliar lewat 6 kali pemberian serta Rp 89,4 juta yang diberikan Asty kepada Bowo lewat Indung saat operasi tangkap tangan terjadi. Suap itu diduga agar Bowo membantu PT HTK dalam proses perjanjian dengan PT Pupuk Indonesia Logistik.

Selain suap, KPK menduga Bowo menerima gratifikasi Rp 6,5 miliar dari pihak lain sehingga total penerimaan Bowo berjumlah Rp 8 miliar. Total Rp 8 miliar itu kemudian disita dalam 400 ribu amplop di dalam puluhan kardus. Menurut KPK, duit itu diduga hendak digunakan sebagai serangan fajar untuk Pemilu 2019.

Nah, pihak lain yang memberikan gratifikasi ke Bowo itu salah satunya disebut dari Direktur Utama PT PLN nonaktif Sofyan Basir, meski kemudian dibantah pengacara Sofyan. Selain itu, ada keterangan dari pengacara Bowo bahwa ada menteri pula yang memberikan uang ke Bowo.

 

Sumber : detik.com

Bupati Cianjur Kantongi Rp 6,9 M dari Hasil Pemerasan Kepsek SMP

Bandung, (WRC) – Bupati Cianjur nonaktif Irvan Rivano Michtar didakwa memeras sejumlah kepala sekolah penerima Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik SMP di Cianjur yang bersumber dari APBN. Irvan mengantongi total Rp 6,9 miliar dari hasil pemerasan itu.

“Terdakwa telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan serangkaian perbuatan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya,” ucap jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, pada hari Senin (29/4/19).

Dalam perkara ini, Irvan didakwa bersama dengan Cecep Sobandi yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Cianjur, Rosidin Kepala Bidang SMP Disdik Cianjur dan Tubagus Cepy Septhiady yang merupakan kakak ipar Irvan.

“Terdakwa menyalahgunakan kekuasaannya selaku Bupati Cianjur yang mempunyai kewenangan antara lain melaksanakan penyelengaraan pemerintahan di Kabupaten Cianjur, memaksa seseorang yaitu memaksa para kepala sekolah penerima DAK fisik bidang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tahun Anggaran 2018, memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri yaitu memberikan potongan penerimaan DAK fisik,” tutur jaksa.

Jaksa menuturkan awalnya Bupati Irvan mengajukan proposal DAK fisik SMP tahun 2018 ke Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan nilai Rp 945 miliar. Namun Bappenas menyetujui dengan memberikan dana sebesar Rp 48 miliar untuk pembangunan fisik ruang kelas baru, laboratorium, perpustakaan, rehabilitasi ruang belajar dan yang lainnya di 137 SMP di Cianjur.

Akan tetapi Bupati Irvan melalui terdakwa lainnya meminta agar para penerima menyisihkan sebesar 7 persen dari dana DAK yang diterima. Para penerima menyetujui dan memberikan kepada Irvan melalui 4 kali pemberian yakni :

  • Pemberian pertama sebesar Rp 618.460.000
  • Pemberian kedua Rp 1.495.975.000
  • Pemberian ketiiga Rp 2.849.032.500
  • Pemberian keempat Rp 1.980.392.500

“Sehingga seluruhnya berjumlah Rp6.943.860.000 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu,” kata jaksa.

Atas perbuatannya itu, Irvan didakwa 3 pasal yakni Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat (1).

(dir/ern)

 

Sumber : detik.com

Sebanyak 1.124 ASN Daerah Terancam Dipecat Karena Dugaan Terlibat Korupsi

Jakarta, (WRC) – Sebanyak 1.124 aparat sipil negara (ASN) dari 2.496 ASN daerah yang terlibat kasus korupsi terancam dipecat. Dari total tersebut, 981 ASN berada di pemkab/pemkot, sedangkan sisanya sebanyak 143 ASN berkedudukan di provinsi.

Ancaman tersebut menyusul adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan aturan surat keputusan bersama (SKB) percepatan pemberhentian pegawai negeri sipil (PNS) yang sudah inkrach kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Selain itu, putusan tersebut sekaligus menjawab gugatan PNS Pemerintah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau yang pernah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada Tahun 2012 dengan menggugat Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Berdasarkan putusan MK Nomor 87/PUU-XVI/2018 tersebut, pemberhentian PNS tidak dengan hormat adalah bagi mereka berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht) karena melakukan perbuatan yang ada kaitannya dengan jabatan seperti korupsi, suap, dan lain-lain.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menyatakan keputusan terkait SKB Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) tersebut bukanlah produk hukum baru.

Lantaran itu, ia menegaskan agar Kepala Daerah selaku pejabat pembina kepegawaian menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN.

“Prinsipnya SKB tersebut tidaklah membuat hukum baru. SKB tersebut menegaskan dan menghimbau Pejabat Pembina Kepegawaian agar menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN untuk melaksanakan Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH) terhadap PNS yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrach),” kata Bahtiar di Jakarta, pada hari Sabtu (27/04/19).

SKB tersebut, jelas Bachtiar, masih sejalan dengan putusan MK. Lantaran itu, Bahtiar juga meminta kepala daerah untuk segera melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 April 2019.

“SKB tersebut sejalan dengan putusan MK dan Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian diberi batas waktu melaksanakan putusan tersebut paling lambat tangga 30 April 2019,” ujar Bahtiar.

Sementara itu, dari data terakhir Direktorat Fasilitasi Kelembagaan dan Kepegawaian Perangkat Daerah Ditjen Otonomi Daerah, Kemendagri per 26 April 2019 juga menunjukkan sebanyak 1.372 PNS dikenai Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) yang terdiri dari PNS Provinsi sebanyak 241 dan PNS Kabupaten/Kota sebanyak 1.131.

Proses tersebut menurut Bahtiar, sesuai arahan Sekjen Kemendagri Hadi Prabowo akan terus berjalan sesuai petunjuk yang diarahkan MenPAN-RB.

Maksud dari Putusan MK Nomor 87/PUU-XVI/2018 dalam perkara Pengujian UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tersebut adalah Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa ” dan/atau pidana umum dalam pasal 87 ayat (4) huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sehingga Pasal 87 ayat (4) huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014 Rentang ASN menjadi berbunyi : “dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

Sumber : suara.com

Geledah Kantor PT Adhi Karya di Makassar, KPK Bawa 2 Kardus Dokumen

Makassar, (WRC) – Penyidik KPK menggeledah kantor PT Adhi Karya di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) terkait penyidikan tindak pidana dugaan korupsi pembangunan gedung kampus IPDN Sulawesi Utara di Kabupaten Minahasa. KPK membawa sejumlah dokumen dari penggeledahan itu.

Pantauan detikcom di kantor PT Adhi Karya di Jalan Hertasning, Makassar, Sulsel, pada hari Senin (29/04/19), beberapa penyidik KPK terlihat mengangkut 2 kardus besar yang diduga berisi dokumen. Tidak hanya itu, ada juga 4 koper yang diangkut KPK ke dalam mobil.

Berdasarkan informasi yang didapatkan, penggeledahan ini mulai sejak pukul 11.00 Wita hingga pukul 15.23 Wita. Dua orang petugas kepolisian bersenjata lengkap terlihat berjaga di depan pintu masuk kantor ini. 

Tidak ada staf dari PT Adhi Karya yang berkomentar saat penggeledahan ini berlangsung. Penggeledahan ini dilakukan saat jam kerja.

Saat penggeledahan dilakukan, pintu utama PT Adhi Karya ditutup. Staf terlihat kelaur dari kantor bercat putih ini dari pintu belakang.

Setelah melakukan penggeledahan, penyidik KPK langsung memasukkan dokumen yamg disita ke 4 mobil yang berbeda dan kemudian bergegas keluar dari kantor ini.

Pihak KPK saat dikonfirmasi membenarkan soal penggeledahan ini.

“Pagi sampai siang ini KPK sedang lakukan penggeledahan di kantor PT Adhi Karya di Makassar dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan dan pelaksanaan pekerjaan pembangunan gedung kampus IPDN Provinsi Sulawesi Utara di Kabupaten Minahasa pada Kemendagri tahun anggaran 2011,” kata Kabiro humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, pada hari Senin (29/04/19).

Febri menyebut sampai saat ini penggeledahan masih berlangsung. Ada sejumlah dokumen yang disita.

“Sampai saat ini diamankan sejumlah dokumen proyek dan barang bukti elektronik,” ucap Febri.

Dalam kasus ini, ada tiga orang yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Mereka ialah mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pusat Administrasi Keuangan dan Pengelolaan Aset Sekretariat Jenderal Kemendagri Dudy Jocom, Kepala Divisi Gedung PT Waskita Karya Adi Wibowo, serta Kepala Divisi Konstruksi VI PT Adhi Karya Dono Purwoko.

KPK menduga ada kesepakatan pembagian pekerjaan antara PT Waskita Karya dan PT Adhi Karya yang dilakukan sebelum lelang. Dudy diduga meminta fee sebesar 7 persen atas pembagian pekerjaan ini.

Dudy kemudian diduga meminta pembuatan berita acara serah terima pekerjaan 100 persen pada 2011 agar dana bisa dicairkan. Padahal pekerjaan belum selesai.

“Dari kedua proyek itu, diduga negara mengalami kerugian total sekurangnya Rp 21 miliar yang dihitung dari kekurangan volume pekerjaan pada dua proyek tersebut. Proyek pembangunan kampus IPDN Sulawesi Selatan Rp 11,18 miliar dan Sulawesi Utara Rp 9,3 miliar,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (10/12).

 

Sumber : detik.com

Tersangka Dugaan Korupsi Dana Hibah Pilwalkot Makassar Bisa Bertambah

Makassar, (WRC) – Tim Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel terus menggenjot pemeriksaan terhadap dua orang tersangka dalam kasus dugaan penyimpangan dana hibah pelaksanaan Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar (Pilwalkot Makassar) periode 2018-2023.

Kedua orang tersangka dalam kasus dana hibah Pilwalkot Makassar tersebut, masing-masing Sekretaris Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar, Sabri, dan Bendahara Pengeluaran Pembantu KPU Kota Makassar, Habibi.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono mengatakan pihaknya akan terus berupaya mengembangkan kasus yang telah mengantongi taksiran kerugian negara sebesar Rp 5 miliar lebih itu.

“Tidak menutup kemungkinan dari hasil penyidikan bisa berkembang ke beberapa tersangka berikutnya. Tapi intinya saat ini masih dua orang tersangka dulu dan sementara diperiksa intensif,” kata Yudhiawan di Mapolda Sulsel, pada hari Senin (29/04/19).

Ia tak menampik adanya dugaan keterlibatan para mantan Komisioner KPU Makassar dalam kasus dugaan penyimpangan dana hibah yang sementara ditangani. Meski demikian, kata Yudhiawan, penyidik masih berupaya mendalami hal tersebut.

“Sampai saat ini mereka masih berstatus saksi di kasus dana hibah Pilwalkot Makassar ini. Potensi tetap ada. Kita tunggu saja hasil penyidikan selanjutnya,” ujar Yudhiawan.

Sebelumnya, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel langsung menahan kedua tersangka dalam kasus dugaan penyimpangan dana hibah Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Makassar periode 2018-2023, Selasa 23 April 2019.

“Penahanan keduanya untuk mempermudah jalannya proses penyidikan,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani.

Dugaan korupsi yang menjerat keduanya berawal saat KPU Kota Makassar menerima dana hibah sebesar Rp 60 miliar dalam rangka pelaksanaan Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar tahun 2018.

Bantuan dana hibah tersebut tercatat dalam naskah perjanjian hibah daerah yang ditandatangani oleh Wali Kota Makassar, Moh. Romdhan Pomantu dan Ketua KPU Makassar saat itu, M. Syarief Amir.

Dalam pelaksanaannya, ditemukan rencana anggaran biaya Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2018 yang tidak direalisasikan. Serta terdapat pungutan pajak yang tidak disetorkan ke kas daerah.

Pungutan yang tdak disetoran itu antara lain berupa pengadaan barang dan jasa yang belum dibayarkan kepada penyedia jasa, pembayaran honor Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang belum terbayarkan serta pajak yang telah dipungut sejak bulan November hingga bulan Oktober 2018 yang juga diketahui tak disetorkan ke kas daerah.

Atas temuan itu, tim Inspektorat pun melakukan pemeriksaan mendalam. Alhasil berdasarkan hasil pemeriksaan Inspektorat Kota Makassar bernomor 0002/Insp/780.04/I/2019 tanggal 8 Januari 2019, ditemukan kekurangan kas senilai Rp 5.891.456.726.

Hasil yang sama juga ditemukan oleh Inspektorat Sekretariat Jenderal KPU RI. Dimana hasil pemeriksaan Inspektorat Sekretariat Jenderal KPU bernomor LAP-60/K.08/XI/2018 tanggal 14 November 2018, ditemukan ketekoran kas sebesar Rp 5.601.544.741.

“Kedua tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto Pasal 9 UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1,” Dicky menandaskan.

Sumber : Liputan6.com

Uang Hasil Pemerasan Kepsek Diserahterimakan di Masjid Raya Cianjur

Bandung, (WRC) – Masjid Agung Cianjur jadi saksi praktik korupsi Bupati Cianjur nonaktif Irvan Rivano Muchtar. Masjid tersebut digunakan sebagai tempat penyerahan duit pemerasan 137 kepala sekolah kepada Bupati Irvan. 

Dalam dakwaan jaksa KPK yang dibacakan pada persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, pada hari Senin (29/04/19), Tubagus Cepy Septhiady terdakwa yang juga kakak ipar Irvan bertemu dengan Cecep Sobandi selaku Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Cianjur yang juga terdakwa. 

Pertemuan itu guna memberikan uang down payment (DP) sebelum pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dari APBN yang dikumpulkan oleh Cecep. Total uang DP 137 SMP sebesar Rp 618 juta. 

“Cecep Sobandi menghubungi Tubagus Cepy Septhiady untuk melakukan pertemuan di halaman Masjid Agung Cianjur. Selanjutnya diserahkan uang yang dikumpulkan dari para kepala sekolah calon penerima DAK,” kata jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan.

Uang tersebut sejumlah Rp 618.460.000 sesuai DP yang terkumpul dari para kepala sekolah. Uang itu dimasukkan ke dalam kotak kardus cokelat. 

“Uang dimasukkan dalam kotak kardus berwarna cokelat dan dipindahkan ke mobil Tubagus Cepy Septhiady,” kata jaksa. 

Duit Rp 618 juta memang diminta Bupati Irvan melalui Cepy. Sebelum pencairan DAK, Irvan melalui Cepy menyampaikan kepada Cecep permintaan 7 persen dari DAK yang cair dengan rincian DP 2 persen dan sisanya setelah pencairan 5 persen. 

Permintaan itu terpaksa disetujui para kepala sekolah dengan membayar DP terlebih dahulu. Setelah membayar DP, para kepsek kembali menyetorkan sisanya saat dana DAK cair.

 (dir/ern)

 

Sumber : detik.com

Suap Ahli Fungsi Hutan, KPK Tetapkan PT. Palma Satu Tersangka Korporasi

Jakarta, (WRC) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan PT. Palma Satu, anak usaha dari grup PT. Duta Palma Group sebagai tersangka kejahatan korporasi lantaran dianggap terlibat kasus dugaan suap terkait revisi alih fungsi hutan di Riau tahun 2014.

Selain perusahaan , KPK turut tetapkan pemilik PT. Darmex Group; Surya Darmadi dan Legal Manager PT. Duta Palma Group, Suheri Terta sebagai tersangka dalam kasus yang sama.

“Penyelidikan yang dilakukan KPK terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan perorangan dan korporasi, yaitu dugaan pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di provinsi Riau kepada Kementerian Kehutanan tahun 2014,” kata Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarief di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, pada hari Senin (29/04/19)

“Setelah menemukan bukti permulaan yang cukup, KPK menetapkan perkara tersebut ke penyidikan dan menetapkan tiga pihak sebagai tersangka,” sambung Laode.

Penetapan status tersangka itu merupakan pengembangan kasus suap alih fungsi hutan Riau, yang sebelumnya telah menjerat tiga orang tersangka. Mereka adalah Gubernur Riau Annas Maamun, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia; Gulat Medali Emas Manurung, dan Wakil Bendahara DPD Partai Demokrat Riau Edison Marudut Marsadauli Siahaan.

Syarief menjelaskan Surya Darmadi diduga bersama orang kepercayaannya, Suheri Terta menyuap Annas Maamun Rp 3 miliar. Uang suap tersebut terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan.

“Tersangka Surya Darmadi diduga merupakan beneficial owner sebuah korporasi dan korporasi juga diduga mendapat keuntungan dari kejahatan tersebut, maka pertanggungjawaban jawaban pidana selain dikenakan terhadap perorangan juga dapat dilakukan terhadap korporasi,” tutur Saut

Atas perbuatannya, PT Palma Satu disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Sementara, Surya Darmadi dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 56 KUHP.

Sumber : suara.com

Pengembangan Suap Annas Maamun, KPK Jerat Korporasi PT Palma Satu

Jakarta, (WRC) – KPK menetapkan PT Palma Satu sebagai tersangka korporasi dalam pengembangan kasus suap yang menjerat mantan Gubernur Riau Annas Maamun. Selain itu, ada dua orang pengusaha yang juga ditetapkan sebagai tersangka.

“Setelah menemukan bukti permulaan yang cukup, KPK meningkatkan perkara tersebut ke penyidikan dan menetapkan 3 pihak sebagai tersangka,” ucap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, pada hari Senin (29/04/19).

Dua pengusaha yang dijerat itu adalah Suheri Terta sebagai Legal Manager PT Duta Palma Group tahun 2014 dan Surya Darmadi sebagai pemilik PT Darmex Group atau PT Duta Palma. Mereka diduga terlibat dalam kasus suap terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau pada Kementerian Kehutanan tahun 2014.

PT Palma Satu dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Suheri dan Surya disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 56 KUHP.

Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Kamis, 25 September 2014 pada Annas Maamun sebagai Gubernur Riau saat itu dan Gulat Medali Emas Manurung sebagai Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Riau. Baik Annas maupun Gulat telah divonis bersalah hingga putusannya berkekuatan hukum tetap.

Dari situlah kemudian KPK mengembangkan penyidikan hingga menjerat korporasi dan dua tersangka itu. Apa hubungan korporasi dengan dua tersangka baru itu?

Awalnya Annas menerima Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 8 Agustus 2014 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan. Dalam surat itu Zulkifli Hasan selaku Menteri Kehutanan saat itu membuka kesempatan pada masyarakat yang ingin mengajukan permohonan revisi bila ada kawasan yang belum terakomodasi melalui pemerintah daerah.

“Tersangka SRT (Suheri Terta) yang mengurus perizinan terkait lahan perkebunan milik Duta Palma Group mengirimkan surat pada Gubernur Riau Annas Maamun yang pada pokoknya meminta Gubernur Riau mengakomodasi lokasi perkebunan PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Banyu Bening, PT Seberida Subur yang berlokasi di Kabupaten Indragiri Hulu dalam RTRW Provinsi Riau,” ucap Syarif.

Setelahnya Surya diduga menawarkan Annas uang Rp 8 miliar melalui Gulat bila area perkebunan perusahaannya masuk dalam revisi SK Menteri Kehutanan. Annas menyetujuinya.

“Perusahaan yang mengajukan permintaan pada Gubernur Riau Annas Maamun yaitu PT Palma Satu Dkk tersebut diduga tergabung dalam Duta Palma Group yang mayoritas dimiliki oleh PT Darmex Agro. SUD (Surya Darmadi) diduga juga merupakan beneficial owner PT Darmex Agro dan Duta Palma Group. SRT (Suheri Terta) merupakan Komisaris PT Darmex Agro dan orang kepercayaan SUD termasuk dalam pengurusan perizinan lahan seperti diuraikan dalam kasus ini,” kata Syarif.

 

Sumber : detik.com

Kasus Dugaan Suap Proyek, Tiga Pejabat Bulukumba Diperiksa Maraton

Makassar, (WRC) – Tim Penyidik Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) kembali memeriksa maraton sejumlah saksi dalam tahap penyelidikan kasus dugaan suap proyek senilai Rp 49 miliar di Kabupaten Bulukumba, Sulsel.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Salahuddin mengatakan untuk hari ini, selain mengambil keterangan pelapor, tim penyidik juga memeriksa tiga pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulukumba.

Ketiganya adalah Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Pemkab Bulukumba Andi Zulkifli, Kepala Seksi Operasi Jaringan Pemanfaatan Air Dinas PSDA Pemkab Bulukumba Ansar, dan seorang Kepala Bagian Persuratan pada Sekretariat Daerah Kabupaten Bulukumba.

“Mereka jalani pemeriksaan sebagai saksi sejak pukul 10.30 wita tadi,” kata Salahuddin, di ruangan kerjanya, pada hari Rabu (24/04/19).

Mengenai materi pemeriksaan terhadap ketiga pejabat Pemkab Bulukumba tersebut, Salahuddin enggan merincinya.

“Itu tidak mungkin kami beberkan. Yang jelas pemeriksaan ketiganya masih sekaitan dengan substansi perkara yang sedang diselidiki,” ujar Salahuddin.

Terhitung sejak kasus dugaan suap proyek tersebut dialihkan penanganannya dari Bidang Intelijen Kejati Sulsel ke Bidang Pidana Khusus Kejati Sulsel, diketahui sudah ada lima orang saksi yang telah diambil keterangannya.

“Kalau tidak salah sudah lebih dari lima orang yang dimintai keterangannya. Ada dari pihak aparat sipil negara (ASN) hingga pihak swasta sendiri,” jelas Salahuddin.

Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Tarmizi mengatakan tim saat ini masih memaksimalkan penyelidikan guna memperkuat alat-alat bukti.

Ia berharap masyarakat bisa bersabar menunggu hasil penyelidikan yang sementara dimaksimalkan oleh tim. Selain mendalami keterangan para saksi dan sejumlah dokumen terkait kasus dugaan suap proyek tersebut, tim juga berupaya menggandeng ahli dalam pengusutan tuntas kasus ini.

“Dalam pengusutan kasus ini, tim menggunakan teknik obat nyamuk sehingga agak lambat tapi pasti,” terang Tarmizi.

Ia juga mengaku mendukung tim penyidik bidang Pidana Khusus secepat mungkin meningkatkan status penanganan kasus dugaan suap proyek senilai Rp 49 miliar di Kabupaten Bulukumba tersebut naik ke tahap penyidikan.

Di mana kasus yang diduga melibatkan Bupati Bulukumba itu, sebelumnya telah resmi dilimpahkan penanganannya dari bidang Intelijen Kejati Sulsel ke bidang Pidana Khusus Kejati Sulsel.

“Saya sangat sepakat kasus itu segera diterbitkan sprindik dan penyelidikannya dimaksimalkan agar segera naik ke tahap berikutnya,” kata Tarmizi.

Ia mengatakan sejak awal kasus dugaan suap proyek tersebut, tak hanya mendapat perhatian masyarakat dan berbagai lembaga pegiat anti korupsi di Sulsel, tapi juga menjadi atensi pihaknya.

“Hampir setiap saat masyarakat dan para LSM mempertanyakan perkembangan kasus dugaan suap proyek tersebut. Sehingga menjadi motivasi kita untuk segera memberikan kepastian hukum,” terang Tarmizi.

Sumber : liputan6.com

Navigasi pos