Ayah Dari Tersangka Korupsi Bupati Lampung Utara Dipanggil KPK untuk Jadi Saksi

Jakarta, WRC – Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan terhadap Anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem Tamanuri. 

Mantan Bupati Way Kanan itu akan diperiksa terkait dengan kasus dugaan suap proyek di Dinas PUPR dan Dinas Perdagangan yang menjerat Bupati Lampung Utara nonaktif Agung Ilmu Mangkunegara yang tak lain adalah anaknya. “Yang bersangkutan dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi untuk tersangka AIM (Agung Ilmu Mangkunegara),” ujar Juru bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (17/12/2019).

Belum diketahui apa yang akan didalami penyidik terhadap Tamanuri. Selain ia, penyidik juga secara bersamaan memanggil mantan Wakil Gubernur Lampung, Bachtiar Basri. Menurut Febri, Bachtiar akan diperiksa sebagai saksi dengan tersangka yang sama. KPK sebelumnya telah menggeledah rumah keluarga AIM beberapa waktu lalu, dalam penggeledahan, KPK juga telah menyita beberapa barang bukti dokumen proyek di Lampung Utara dan catatan aliran dana.

Namun, belum dipastikan apakah hasil temuan itu didapati adanya aliran dana pada pihak lain yang menerima atau memberi selain tersangka yang sudah ditetapkan. Dalam perkara ini Bupati Lampung Utara nonaktif AIM ditetapkan tersangka suap proyek bersama lima orang lainnya menyusul operasi tangkap tangan pada Minggu hingga Senin, 6-7 Oktober 2019.

Seperti informasi yang dikutip Bisnis.com, selain Bupati, tersangka lain adalah Raden Syahril selaku orang kepercayaan Bupati, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Lampung Utara Syahbuddin, dan Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Lampung Utara Wan Hendri. Adapun dari dua pihak swasta selaku terduga pemberi suap yaitu Chandra Safari dan Hendra Wijaya Saleh.

AIM diduga menerima uang dari dua proyek di dua Dinas Wilayahnya yaitu Dinas Perdagangan dan Dinas PUPR.  Pertama, pada proyek di Dinas Perdagangan, AIM diduga menerima sejumlah uang dari Hendra Wijaya Saleh melalui orang kepercayaannya yang bernama Raden Syahril, dan diterima melalui Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Lampung Utara Wan Hendri.

Tersangka Hendra Wijaya Saleh diduga menyerahkan uang sebesar Rp 300 juta kepada Wan Hendri dan kemudian sebesar Rp 240 juta diserahkan pada Raden Syahril sehingga sejumlah Rp60 juta masih berada di Wan Hendri.

Adapun dalam OTT, tim Satgas KPK hanya menemukan barang bukti uang sebesar Rp 200 juta untuk Bupati yang diamankan dari kamarnya. Uang suap yang diduga terkait dengan tiga proyek di Dinas Perdagangan yaitu, Pembangunan Pasar Tradisional Desa Comook Sinar Jaya, Kecamatan Muara Sungkai sebesar Rp 1,073 miliar, Pembangunan Pasar Tradisional Desa Karangsari, Kecamatan Muara Sungkai sebesar Rp 1,3 miliar, dan Konstruksi Fisik Pembangunan Pasar Rakyat Tata Karya (DAK) sebesar Rp 3,6 miliar.

Sementara itu, pada Dinas PUPR Kabupaten Lampung Utara, tersangka AIM diduga telah menerima uang beberapa kali terkait proyek di Dinas itu. Perinciannya sebesar Rp 600 juta yang diterima sekitar Juli 2019, sebesar Rp 50 juta pada akhir September, dan sebesar Rp 350 juta pada 6 Oktober 2019, semua uang ditemukan KPK di rumah Raden Syahril.

Uang suap diduga berasal dari Chandra Safari selaku pihak rekanan dalam perkara ini yang telah mengerjakan setidaknya 10 proyek di Kabupaten Lampung Utara sejak 2017 hingga 2019. Sebagai imbalan atau fee, Chandra diwajibkan menyetor uang kepada sang Bupati melalui Syahbuddin dan Raden Syahril.

Sebelumnya, ada juga permintaan dari Bupati AIM pada Syahbuddin agar menyiapkan setoran fee sebesar 20% – 25% dari proyek yang dikerjakan Dinas PUPR. Permintaan disampaikannya pada saat ia baru menjabat sebagai Bupati dengan maksud memberi syarat pada Syahbuddin apabila ingin menjadi Kadis PUPR maka harus menyetujui permintaan itu. (*)

Dugaan Korupsi Gratifikasi, KPK Tetapkan Mantan Sekretaris MA Jadi Tersangka

Jakarta, WRC Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan perkara di MA pada periode 2011-2016 senilai Rp 46 miliar.

“KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dalam perkara suap terkait pengurusan perkara yang dilakukan sekitar 2015–2016 dan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan serta berlawanan dengan tugas maupun kewajibannya yang tidak dilaporkan dalam jangka waktu maksimal 30 hari kerja ke KPK, sehingga KPK meningkatkan melakukan penyidikan juga menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu NHD (Nurhadi) Sekretaris MA 2011-2016,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di gedung KPK Jakarta, Senin (16/12/2019).

Seperti informasi yang dikutip RealitaRakyat.com, selain NDH, KPK juga menetapkan dua orang lain sebagai tersangka. “Tersangka kedua adalah RHE (Rezky Herbiyono) sebagai Swasta dan menantu NHD dan HS (Hiendra Soenjoto), Direktur PT. Multicon Indrajaya Terminal (MIT),” ungkap Saut.

NDH dan RHE diduga menerima suap atau gratifikasi terkait tiga perkara di pengadilan dengan total penerimaan senilai Rp 46 miliar. “Secara keseluruhan diduga NHD melalui RHE telah menerima janji dalam bentuk 9 lembar cek dari PT. MIT serta suap/gratifikasi dengan total Rp 46 miliar,” ucap Saut menambahkan.

Penerimaan suap tersebut terkait pertama, perkara perdata PT. MIT melawan PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN) (Persero) pada 2010. “Pada awal 2015, tersangka RHE menerima 9 lembar cek atas nama PT. MIT dari tersangka HS untuk mengurus perkara Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi No: 2570 K/Pdt/2012 antara PT. MIT dan PT. KBN (Persero) serta dalam proses Hukum maupun pelaksanaan eksekusi lahan PT. MIT di lokasi milik PT. KBN oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan,” jelas Saut.

Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut tersangka RHE menjaminkan 8 lembar cek dari PT. MIT dan 3 lembar cek miliknya untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp 14 miliar. “Tetapi, PT. MIT kalah karena pengurusan perkara tersebut gagal maka tersangka HS meminta kembali 9 lembar cek yang pernah diberikan tersebut,” tutur Saut.

Perkara kedua adalah pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT. MIT, pada 2015 HS digugat atas kepemilikan saham PT.MIT. Perkara perdata ini dimenangkan olehnya mulai dari tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016. “Pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara HS dan Azhar Umar sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari tersangka HS kepada NHD melalui tersangka RHE sejumlah total Rp 33,1 miliar. Transaksi tersebut dilakukan dalam 45 kali transaksi,” tandas Saut.

Ia juga menambahkan, “pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan, karena nilai transaksi yang begitu besar. Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf RHE,” ujarnya.

Tujuan pemberian tersebut adalah untuk memenangkan HS dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT.MIT. Sedangkan perkara Ketiga adalah penerimaan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan. “Tersangka NHD melalui RHE dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 juga diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp 12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat Kasasi dan PK di MA serta permohonan perwalian,” pungkas Saut.

Penerimaan-penerimaan tersebut, tidak pernah dilaporkan oleh NHD kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi. NHD dan RHE disangkakan Pasal 12 Huruf a atau Huruf b subsider Pasal 5 Ayat (2) lebih subsider Pasal 11 atau Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji penerimaan gratifikasi dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit senilai Rp 200 juta dan paling banyak senilai Rp 1 miliar.

Sedangkan HS disangkakan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Huruf b subsider Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan ancaman Hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara serta denda paling sedikit senilai Rp 50 juta, paling banyak senilai Rp 250 juta. (*)

KPK Tetapkan Tersangka Baru Kasus Dugaan Korupsi Kemenag

Jakarta, WRC Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di lingkungan Ditjen Pendis Kementerian Agama (Kemenag), Undang Sumantri (USM), sebagai tersangka.

Kasusnya, dugaan korupsi proyek Pengadaan Labortorium Komputer Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada Tahun Anggaran 2011. Kasus ini merupakan pengembangan perkara suap yang menjerat sejumlah pihak, diantaranya mantan Anggota DPR, Dzulkarnaen Djabar dan pengusaha Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq.

“Setelah munculnya sejumlah fakta tentang dugaan keterlibatan pihak lain, KPK membuka penyelidikan baru. Kemudian KPK menemukan bukti permulaan yang cukup dan meningkatkan perkara ke penyidikan kasus tindak pidana korupsi,” kata Wakil Ketua KPK, Laode Muhamaad Syarif di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (16/12/2019).

Atas perkara tersebut, USM diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Laode menjelaskan, “mulanya, Kemenag RI, melakukan pengadaan peralatan Laboratorium Komputer MTs tahun 2011 dengan alokasi sebesar Rp 114 Miliar. Rinciannya yakni Peralatan Laboratorium Komputernya sebesar Rp 40 Miliar, Pengembangan Sistem Komunikasi dan Media Pembelajaran Terintegrasi pada Jenjang MTs sebesar Rp 23,25 Miliar, dan Pengembangan Sistem Komunikasi dan Media Pembelajaran Terintegrasi pada Jenjang Madrasah Aliyah (MA) sebesar Rp 50,75 Miliar,” ujarnya.

Ia juga mengatakan bahwa, “tersangka USM selaku PPK di lingkungan Ditjen Pendis Kemenag mendapat arahan agar untuk menentukan pemenang paket-paket pengadaan pada Dirjen Pendis tersebut, sekaligus diberikan daftar pemilik pekerjaan,” ucap Laode.

Seperti informasi yang dikutip Inilahcom, pada Oktober 2011, tersangka USM selaku PPK menandatangani dokumen Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Spesifikasi Teknis Laboratorium Komputer MTs yang diduga diberikan oleh PT. CGM yang ditawarkan paket pekerjaan tersebut. Namun setelah lelang diumumkan, PT. CGM menghubungi rekanannya dan meminjam perusahaan untuk mengikuti lelang dengan kesepakatan “Biaya Peminjaman” perusahaan.

Pada bulan November 2011, diduga terjadi pertemuan untuk menentukan pemenang dan segera mengumumkan PT. BKM sebagai pemenang. Ia menambahkan bahwa, “atas pengumuman tersebut, perusahaan-perusahaan lain yang menjadi peserta lelang tersebut menyampaikan sanggahan. Dugaan kerugian keuangan Negara setidaknya sebesar Rp 12 Miliar,” pungkas Laode.

Sementara pengadaan Pengembangan Sistem Komunikasi dan Media Pembelajaran Terintegrasi MTs dan MA, dugaan kerugian Negara setidaknya sebesar Rp 4 Miliar. Ia juga menambahkan lagi bahwa, “KPK juga mengidentifikasi dugaan aliran dana pada sejumlah politisi dan penyelenggara Negara terkait dengan perkara ini total setidaknya sebesar Rp 10,2 Miliar, terkait pengadaan Peralatan Laboratorium Komputer untuk MTs, pengadaan Pengembangan Sistem Komunikasi dan Media Pembelajaran Terintegrasi Mts dan MA. (*)

Tersangka Kasus Korupsi, Jen Tang Diduga Kebal Hukum

Makassar, WRC – Tersangka kasus dugaan korupsi penggunaan Sewa Tanah Negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar tahun 2015 dan sempat menjadi buronan sejak awal tahun 2018,  Soedirjo Aliman alias “Jen Tang” sepertinya Kebal Hukum. Ia ditangkap oleh Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta Selasa (17/10/2019), lalu ditahan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel selama 57 hari di Lapas Kota Makassar.

Jen Tang dijerat Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1. Direktur PT. Jujur Jaya Sakti ini disangka merugikan Negara hingga Rp 500 juta. Diketahui Bos salah satu Showroom Mobil besar di Kota Makassar tersebut, bebas dari Lapas Kota Makassar, Jumat (13/12/2019) malam.

Edy Dola, Ketua Komite Pusat Gerakan Revolusi Demokratik (KP-GRD), angkat bicara terkait polemik ini. “Nyatalah bahwa Hukum di Negera ini, tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Aparat Hukum selaku penegak keadilan di Negeri, seharusnya memperlihatkan sikap yang taat terhadap konstitusi, bukan malah mencederai institusi penegak konstitusi,” ucapnya, Selasa (17/12/2019).

Menurut informasi yang dikutip Tribunnews.com, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Sulsel, A. Usama, mengaku belum tahu itu. “Saya belum tahu soal itu (penangguhan), tapi saya lihat di berita online sudah ada yang ditangguhkan,” kata Usama.

Ia juga mengatakan bahwa ia sudah berusaha untuk menghubungi pihak penyidik yang tangani kasus ini, tapi belum ada respon. “Saya kan baru pulang ini, tidak ada juga yang sampaikan ini. Tapi coba saya cek lagi ke pihak penyidik,” lanjut Usama.

Sambung Edy, “apa yang terjadi di Sulawesi Selatan khususnya Kota Makassar ini, adalah bukti lemahnya penegakan supremasi Hukum, terlebih lagi persoalan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebelumnya dari beberapa informasi yang kami kumpulkan, bahwa pihak Kejati Sulsel melalui Plt. Kasi Penkumnya tidak mengetahui perihal bebasnya Jen Tang melalui penangguhan,” pungkas Ketua KP-GRD ini.

Ia juga menegaskan, “berarti tidak ada sinergitas dan komunikasi yang baik di internal Kejati Sulsel. Kepala Kejati Sulsel seharusnya melakukan evaluasi terhadap bawahannya sesuai Tupoksinya masing-masing, atau bisa saja ada konspirasi terselubung di tubuh Kejati Sulsel, yang menyebabkan Jen Tang bisa ditangguhkan. Ini citra yang buruk bagi Kepala Kejati Sulsel. Akan timbul mosi tidak percaya dengan Penkum dan akan berimplikasi terhadap sikap serta tindakan Masyarakat. Suatu kewajaran kriminalitas semakin meningkat karena Penkumnya saja tidak patuh dalam menjalan Hukum sebagaimana mestinya,” tegas Edy Dola.

Kepala Pengamanan Klas I Makassar, Mutzaini, mengatakan, “ia dipanggil ke Kejaksaan untuk diperiksa oleh Jaksa, setelah itu ada surat penangguhan penahanan untuk dikeluarkan dari Lapas. Jen Tang merupakan titipan Kejati Sulsel di Lapas, kalau ada penangguhan sampai kapan kita tidak tahu, hanya Jaksa yang tahu. Konfirmasi saja pada Jaksa, serta untuk sementara ia tidak ditahan. Proses itu kewenangan Jaksa yang tahu, Jen Tang saat ini belum dilimpahkan masih status tahanan oleh Jaksa,” tandasnya. (*)

Kasus Dugaan Korupsi Pajak BPHTB di BP2RD, Jaksa akan Panggil Saksi-Saksi

Tanjungpinang, WRC Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjungpinang berencana memanggil saksi-saksi terkait kasus dugaan korupsi pajak BPHTB di BP2RD setempat. Kepala Kejari Tanjungpinang Ahelya Abustam, melalui Kasi Intelijen Rizky Rahmatullah mengatakan, kasus ini sudah masuk proses tahap penyidikan, Senin (16/12/2019).

Menurut Informasi yang dikutip LintasKepri.com, Rizky mengatakan, “kita rencanakan Minggu ini sudah pemanggilan saksi. Jadi, yang kemarin kita panggil untuk dimintai keterangannya saat penyelidikan kita panggil ulang kembali,” ucapnya.

Ia mengungkapkan, saksi yang dipanggil sekitar 11 orang, dan kemungkinan akan bertambah. Setelah proses permintaan keterangan dari saksi-saksi serta bukti yang ada dalam proses penyidikan ini, Kejari berupaya dalam waktu dekat menetapkan tersangka. “Sesegera mungkin akan kita tetapkan siapa yang diduga sebagai tersangka dalam kasus ini berdasarkan alat bukti yang kita punya,” tuturnya.

Ia juga menegaskan, “penyidikan punya batas waktu 1 bulan sejak kasus dinaikkan ke tahap penyidikan. Namun bisa diperpanjang,” katanya. (*)

Kasus Dugaan Suap Distribusi Gula, KPK Kembali Periksa Bos PTPN VI dan Ketum Dewan Pembina APTRI

Jakarta, WRC – Komisaris Utama PTPN VI, M Syarkawi Rauf, kembali diagendakan untuk diperiksa Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (16/12/2019).

Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu diperiksa terkait kasus dugaan suap Distribusi Gula di Holding PT. Perkebunan Nusantara III pada 2019. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Syarkawi Rauf dipanggil sebagai saksi untuk tersangka Direktur Pemasaran PTPN III (Persero) I Kadek Kertha Laksana (IKL).

Selain Rauf, penyidik juga memanggil Ketua Umum (Ketum) Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil, sebagai saksi untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka IKL. “Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka IKL,” ucap Febri Diansyah melalui pesan singkat.

Nama Syarkawi sebelumnya muncul dalam sidang pembacaan dakwaan terhadap terdakwa Direktur Utama PT. Fajar Mulia Transindo Pieko Njotosetiadi. Saat ia menjabat sebagai Komisaris Utama PTPN VI disebut menerima uang sebesar 190.300 dolar Singapura dari Pieko.

“Untuk menghindari kesan adanya praktik monopoli perdagangan melalui sistem LTC oleh perusahaannya, Pieko Njotosetiadi juga meminta Komisaris Utama PTPN VI dan mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (PKPU) Muhammad Syarkawi Rauf untuk membuat kajian. Dengan demikian, terdakwa telah memberikan uang kepada Muhammad Syarkawi Rauf seluruhnya sebesar 190.300 dolar Singapura, atau setara Rp 1,966 miliar, yang diberikan dalam dua tahap,” ujar Jaksa KPK, Ali Fikri.

Dalam kasus ini, KPK baru menjerat tiga orang tersangka, yakni Pieko Nyotosetiadi selaku pemilik PT. Fakar Mulia Transindo, I Kadek Kertha Laksana dan Dirut PTPN III Dolly Pulungan. Dolly diduga menerima suap dari Pieko senilai 345 ribu dolar Singapura. Pemberian suap itu terkait pendistribusian gula, perkara Pieko selaku pemberi suap, telah bergulir di pengadilan Tipikor Jakarta. (*) 

KPK Panggil 4 Saksi Kasus Dugaan Korupsi Pembelian Pesawat Garuda

Jakarta, WRC – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil 4 orang terkait kasus dugaan suap pengadaan Pesawat dan Mesin Pesawat dari Airbus SAS dan Roll-Royce PLC pada PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menjelaskan, 4 orang tersebut adalah adalah VP Corporate Secretary and Investor Relations PT. Garuda Indonesia Hengki Heriandono, Mantan EVP Human Capital & Corp, Supp. Service PT. Garuda Indonesia Heriyanto Agung Putra, Mantan Corporate Secretary & Legal PT. Garuda Indonesia Ike Andriani dan Dirut PT. Garuda Maintence Facility Aero Asia Iwan Joeniarto. “Mereka akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka HDS (Hadinoto Soedigno)” kata Febri, Senin (16/12/2019).

Seperti informasi yang dikutip Korporat.com, sebelumnya, KPK telah memeriksa tujuh petinggi dan pegawai PT. Garuda Indonesia (Persero) pada hari Senin (9/9/2019). KPK terus mengembangkan kasus dugaan suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC pada PT. Garuda Indonesia.

Febri mengatakan, tim lembaga antirasuah sudah mengidentifikasi dugaan suap lainnya terkait pembelian Pesawat Airbus, ATR (Avions de Transport Regional) dan Pesawat Bombardier. “Total nilai suap yang mengalir pada sejumlah pihak, termasuk tersangka yang telah teridentifikasi sampai saat ini adalah sekitar Rp 100 miliar dalam bentuk berbagai mata uang, mulai dari Rupiah, USD, EURO, dan SGD,” ujar Febri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. (*)

Kasus Dugaan Korupsi Proyek Jembatan Cisinga akan Segera Disidangkan

Tasikmalaya, WRC — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat (Jabar) melimpahkan berkas perkara kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Jembatan Ciawi-Singaparna (Cisinga), Tasikmalaya. Kasus korupsi senilai Rp 4 miliar itu segera disidang di pengadilan. Kasus ini sendiri menyita waktu yang cukup lama. Kasus diawali penggeledahan oleh Jaksa pada November 2018.

Seperti informasi yang dikutip GosipGarut.Id, pada April 2019, lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Dari kelimanya, tiga orang merupakan Pejabat di Pemkab Tasikmalaya dan dua orang lainnya merupakan pihak Swasta. Mereka adalah yang berinisial BA (Kepala Dinas PUPS Kabupaten Tasikmalaya), RR (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan), MM (Pejabat teknis), DS dan IP dari pihak Swasta.

“Ya sudah, kita sudah menerima pelimpahan berkas dari Kejati Jabar waktu hari Rabu kemarin,” ucap Panitera Muda Tipikor Yuniar saat dihubungi, Minggu (15/12/2019).

Dengan dilimpahkannya berkas perkara tersebut, kasus ini akan segera disidang. Namun, Yuniar belum bisa memastikan kapan waktu persidangan digelar. Pengadilan Tipikor Bandung sudah menunjuk Majelis Hakim yang akan memimpin jalannya persidangan. Ada tiga Hakim yaitu M Razad selaku Ketua Majelis dengan dua Anggota Dahmiwirda dan Jojo Jauhari.  “Paling telat 18 Desember sudah sidang. Karena ketentuannya tidak boleh lebih dari tujuh hari setelah berkas masuk,” ujarnya.

Kasus tersebut ditangani Kejati Jabar berdasarkan pengaduan Masyarakat. Kejati juga telah menggeledah kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada November 2018. Ia juga menjelaskan kasus itu terjadi pada tahun 2017. Pemkab Tasikmalaya melakukan pembangunan Jembatan di Jalan Cisinga Kabupaten Tasikmalaya dengan nilai anggaran Rp 25 miliar.

Dalam perjalanannya, pengerjaan Jembatan tersebut tak sesuai spesifikasi. Diduga ada mark up biaya serta pekerjaan di subkontrak kepada perusahaan lain yang tidak sesuai aturan. Dari proses penyelidikan dan analisa ahli, diperoleh fakta bahwa ada selisih nominal anggaran sebesar Rp 4 miliar lebih, nilai tersebut termasuk kerugian Negara atas kasus ini. (*)

Dugaan Korupsi Proyek Taman Kota KKT, Jaksa Bersikap Tegas

Maluku, WRC – Bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Sedunia pada 9 Desember 2019, pimpinan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku mengumumkan sejumlah kasus dugaan korupsi yang sementara diusut. Salah satunya proyek Taman Kota di Dinas PUPR Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT). Proyek ini dibiayai APBD Perubahan 2017 sebesar Rp 5,5 miliar, status penanganan kasus ini sudah ditahap penyidikan.

Sejumlah pejabat KKT telah diperiksa, diantaranya Kadis PUPR Andrianus Sihasale dan PPTK, Wilma Fenanlampir. Proyek dikerjakan PT. Inti Artha Nusantara dalam layanan pengadaan secara Elektronik Kabupaten MTB, sebelum berubah nama menjadi KKT tertulis pagu Rp 5.000.000.000, sementara harga penawaran Rp 4.475.594.000,00.

Perusahaan ini beralamat  di Jl. Rukan Permata Jatinegara Jl. Bekasi Timur IX No 17/3 RT 004 RW 003 Rawa Bunga Jatinegara Jakarta Timur-Jakarta Timur (Kota)-DKI Jakarta, dengan Direktur Utama, Agusti Mirawan. PT. Inti Artha Nusantara dipakai oleh kontraktor bernama Rio, anak dari pemilik Toko Pulo Mas untuk menggarap proyek Taman Kota KKT itu.

Menurut informasi yang dikutip SiwalimaNews, Proyek Taman Kota Saumlaki diusut tahun lalu berdasarkan laporan Masyarakat. Jaksa menaikan status ke tahap penyidikan, setelah penyidik menemukan perbuatan melawan Hukum. Dua alat bukti sudah dikantongi, serta belasan saksi sudah diperiksa. Pemeriksaan lapangan juga sudah dilakukan, dan ditemukan proyek Taman Kota Saumlaki dikerjakan tidak sesuai Rencana Anggaran Belanja (RAB), akibatnya hasil tersebut jadi tidak berkualitas. Koordinasi sudah dilakukan penyidik Kejati Maluku dengan BPKP Perwakilan Maluku untuk audit kerugian Negara. Jika sudah ada hasil audit, tersangka diumumkan.

Di pihak lain, Kadis PUPR KKT, Adrianus Sihasale mengklaim proyek Tama Kota Saumlaki Tahun Anggaran 2017 sudah selesai dikerjakan dan telah dinikmati Masyarakat, bahkan BPK Perwakilan Maluku telah melakukan audit, dan tidak menemukan masalah dalam proyek tersebut. Ia mengaku kaget, ketika Kejati Maluku menaikan status proyek ini ke tahap penyidikan. Ia juga mengaku, sudah dua kali diperiksa oleh penyidik, satu kali di tahap penyelidikan dan satunya lagi di tahap penyidikan.

Kejati Maluku menanggapi santai klaim Kadis PUPR KKT Andrianus Sihasale. Kepala Seksi Penyidikan Kejati Maluku, Y.E Oceng Almahdaly mengatakan, siapapun  boleh mengklaim proyek Taman Kota Saumlaki tidak bermasalah, namun Jaksa memiliki bukti yang cukup untuk menaikan status kasus tersebut ke tahap penyidikan.

Disaat status kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Taman Kota Saumlaki, naik tahap penyidikan, berhembus informasi kalau ada upaya pejabat KTT melobi Kejati Maluku agar kasus ini dihentikan. Salah satu pertimbangan pejabat KKT berupaya mendekati Korps Adhyaksa adalah hasil audit BPK tidak menemukan masalah dalam proyek senilai Rp 5,5 miliar itu, Kejati Maluku bereaksi keras, dan membantah informasi tersebut. Korps Adhyaksa menegaskan, kasus proyek Taman Kota KTT tetap dituntaskan, tidak ada alasan untuk dihentikan.

Sikap tegas Kejati Maluku patut diapresiasi, kasus proyek Taman Kota KKT harus dituntaskan. Jerat siapapun yang terlibat, tidak boleh tebang pilih. Jangan hanya di proyek KKT, tetapi sikap tegas Jaksa harus juga ditunjukkan dalam penanganan kasus korupsi yang lainnya. (*)

 

Tim Penyelidik KPK Geledah Kantor BPR Indramayu

Indramayu, BN – Tim penyidik KPK menggeledah kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Indramayu, terkait dugaan korupsi suap Bupati Indramayu non aktif Supendi, Selasa (10/12/19).

Tim penyidik KPK datang ke kantor Bank Perkreditan rakyat (BPR) pukul 10.00 wib dan langsung masuk CF ke kantor Bank perkreditan rakyat BPR untuk menggeledah surat yang ada kaitannya dengan kasus suap terkait dengan pengaturan proyek di lingkungan PUPR kabupaten Indramayu, yang menjerat bupati Indramayu non aktif Supendi dan sejumlah pejabat dinas PUPR kabupaten Indramayu tahun 2019.

Sejumlah dokumen di amankan oleh penyidik KPK, Tim KPK juga menggeledah rumah Direktur utama BPR Indramayu jalan Yos Sudarso Indramayu, Sugianto.

Sebelumnya pada hari Senin tanggal 9 Desember 2019 tim KPK telah memeriksa 12 saksi,dari unsur Pejabat di Indramayu dan sewasta pemeriksaan di tempatkan di Polresta kota Cirebon, pemeriksaan saksi oleh tim penyidik KPK di dalami seputar informasi dugaan pengaturan proyek di dinas PUPR kabupaten Indramayu dan penerimaan uang dari rekanan tersebut.

Dalam kasus ini KPK memanggil kasat Reskrim polres Indramayu, AKP Suseno Adi Wibowo dan asisten intelijen kejaksaan tinggi Kalimantan tengah, “keduanya di panggil KPK untuk dijadikan saksi kasus korupsi suap Bupati Indramayu non aktif Supendi dan kadis PUPR kabupaten Indramayu, namun AKP Suseno Adi Wibowo tidak hadir karena belum ada perintah Kapolri dalam hal ini KPK akan berkoordinasi dengan Kapolri.” Ujar juru bicara KPK.

Bupati Indramayu non aktif Supendi bersama kadis PUPR kabupaten Indramayu,Omarsyah,(OMS) dan kepala bidang jalan dinas PUPR kabupaten Indramayu Wempy Triyono,(WT) di tetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga melakukan korupsi suap terkait proyek dinas PUPR kabupaten Indramayu.

Supendi diduga menerima uang sebesar Rp 200 juta, Omarsyah di duga menerima uang sebesar Rp 350 juta plus sepada senilai Rp 20 juta, sedangkan Wempi Triono di duga menerima uang sebesar Rp 560 juta selama lima kali dalam bulan Agustus dan September tahun 2019.

Uang ini di terima oleh Supendi dari Carsa (CAS) pihak sewasta yang mengerjakan tujuh proyek anggaran APBD kabupaten Indramayu senilai Rp 15 miliyar.

(WRC /Tim Indramayu)

Paginasi pos