Kasus Suap Pengisian Jabatan, KPK Akan Periksa Menteri Agama Hari Ini

Jakarta, (WRC) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin sebagai saksi dalam penyidikan kasus suap pengisian jabatan di lingkungan Kementerian Agama RI Tahun 2018-2019. Menag dijadwalkan diperiksa untuk tersangka anggota DPR RI 2014-2019 Romahurmuziy pada Rabu ini.

“Rabu, 24 April 2019 dijadwalkan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dalam perkara dugaan suap terkait pengisian jabatan di Kementerian Agama RI,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa 23 April 2019.

Selain Menag, KPK juga memanggil tiga saksi lainnya untuk tersangka Romahurmuziy, yaitu Staf Khusus Menteri Agama Gugus Joko Waskito serta dua Anggota Panitia Pelaksana Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Kemenag pada Sekretariat Jenderal masing-masing Aulia Muttaqin dan Muhammad Amin.

Dalam penyidikan kasus itu, KPK juga telah menggeledah ruang kerja Menag di gedung Kemenag Jakarta pada Senin 18 Maret 2019 dan menyita uang senilai Rp 180 juta dan 30 ribu dolar AS.

Selain itu, KPK pada Selasa kemarin juga telah memeriksa dua pejabat di Kemenag sebagai saksi untuk tersangka Romahurmuziy.

Dua pejabat itu adalah Kepala Bagian (Kabag) Mutasi Sekretariat Jenderal (Setjen) Kemenag Sujoko dan Kabag Tata Usaha Pimpinan Biro Umum Setjen Kemenag Khoirul Huda Basyir Habibullah.

“Penyidik mengonfirmasi keterangan saksi terkait proses mutasi di Kementerian Agama serta mengonfirmasi barang bukti berupa surat revisi pengajuan nama Kepala Kantor Agama Gresik,” kata Febri.

Hingga saat ini KPK telah menetapkan tiga tersangka terkait suap pengisian jabatan di lingkungan Kementerian Agama RI Tahun 2018-2019.

Diduga sebagai penerima adalah Muhammad Romahurmuziy. Sedangkan diduga sebagai pemberi, yaitu Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi (MFQ) dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin (HRS).

Selain itu, Romahurmuziy saat ini juga masih dibantarkan penahanannya di Rumah Sakit Polri Jakarta Timur karena masih sakit.

Sumber : Liputan6.com

KPK Eksekusi 2 Terpidana Suap Bupati Lampung Selatan ke Lapas Sukamiskin

Jakarta, (WRC) – KPK mengeksekusi dua orang terpidana kasus dugaan suap Bupati Lampung Selatan nonaktif Zainudin Hasan. Keduanya adalah eks Kadis PUPR Lampung Selatan, Anjar Asmara, dan Anggota DPRD Lampung, Agus Bhakti Nugraha.

“Jaksa Eksekusi pada KPK telah melakukan eksekusi terhadap 2 orang terpidana korupsi dalam kasus suap terkait proyek infrastruktur di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Lampung Selatan,” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Rabu (24/04/19).

Keduanya dieksekusi ke Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Mereka sebelumnya ditahan di Rutan Wai Hui Lampung selama masa persidangan.

“Terpidana akan menjalankan masa hukumannya di lapas tersebut sesuai putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjungkarang yang telah berkekuatan hukum tetap,” ucap Febri.

Anjar divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Sementara Agus divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan.

Keduanya dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus dugaan suap ini. Mereka diyakini ikut bersama-sama dengan Zainudin Hasan menerima suap terkait proyek-proyek di Dinas PUPR Lampung Selatan.

Sementara itu, Zainudin saat ini masih dalam proses persidangan. Dia dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 5 bulan kurungan karena diyakini bersalah menerima suap, mendapat keuntungan dengan ikut proyek di wilayahnya, menerima gratifikasi, dan melakukan pencucian uang.

 

Sumber : detik.com

KPK Tetapkan Dirut PLN Sofyan Basir Tersangka Korupsi PLTU Riau-1

Jakarta, (WRC) – Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menetapkan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir sebagai tersangka.

Penetapan tersangka ini merupakan hasil pengembangan kasus dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau.

“KPK meningkatkan perkara ke tingkat penyidikan dengan tersangka SFB (Sofyan Basir), Direktur Utama PT PLN,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, pada hari Selasa (23/04/19).

Dalam kasus ini KPK sudah menjerat mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekjen Golkar Idrus Marham, dan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited.

Pada pengembangan sebelumnya, KPK juga sudah menjerat pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan.

Sofyan diduga bersama-sama membantu Eni dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Kotjo untuk kepentingan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.

Sofyan disangka melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 hurut b atau pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

Sumber : Kompas.com

Sekretaris KPU Makassar Ditahan Terkait Korupsi Pilwalkot 2018

Makassar, (WRC) – Polda Sulsel menetapkan tersangka terhadap Sekretaris KPU Kota Makassar, Sabri, terkait dugaan penyelewengan dana hibah untuk Pilwalkot Makassar tahun 2018. Diduga ada kerugian negara sebesar Rp 5 miliar.

“Malam ini ditahan,” kata Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Dicky Sondani di Makassar, Sulsel, pada hari Selasa (23/04/19).

Dicky mengatakan pihaknya menahan tersangka Sabri selaku Sekretaris KPU kota Makassar. Tidak hanya itu, polisi juga telah menahan tersangka lainnya Habibi selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu beberapa waktu lalu.

Ditambahkannya, penahanan ini terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan dana hibah Kota Makassar pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar dalam rangka Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Tahun 2018.

Dana hibah ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Makassar tahun anggaran 2017 dan 2018 sebesar Rp 60 miliar.

“Setelah dilakukan audit dengan melibatkan berbagai pihak, seperti audit Inspektorat Kota Makassar pada Januari 2019, ditemukan kekurangan kas tunai sebesar Rp. 5.891.456.726. Lalu, pada pemeriksaan Inspektorat Sekretariat Jenderal KPU per tanggal 14 November 2018, ditemukan ketekoran Kas sebesar Rp. 5.601.544.741,” ungkapnya.

(fiq/rvk)

 

Sumber : detik.com

Dirut PLN Jadi Tersangka Korupsi, Ini Tanggapan Kementerian BUMN

Jakarta, (WRC) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT PLN (Persero) sebagai tersangka terkait kasus PLTU Riau-I.

Menanggapi hal itu Sekretaris Kementerian BUMN, Imam Apriyanto Putro mengungkapkan, Kementerian BUMN menghormati proses hukum yang sedang dihadapi oleh Dirut PT PLN (Persero) sebagaimana yang disampaikan oleh KPK kepada media, Selasa sore (23/04/19).

“Dalam pelaksanaannya, Kementerian BUMN terus meminta agar semua kegiatan BUMN terus berpedoman pada tata kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) dan terus mendukung upaya-upaya pemberian informasi yang benar dan berimbang sebagai wujud oganisasi yang menghormati hukum,” papar Imam, Selasa pekan ini.

Selanjutnya Kementerian BUMN meminta manajemen PLN untuk tetap melaksanakan dan memastikan operasional perusahaan tetap berjalan dengan baik, terutama terus memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat di seluruh pelosok tanah air.

“Kementerian BUMN menghormati azas praduga tak bersalah, dan bersama PT PLN (persero) siap bekerjasama dengan KPK dalam menangani kasus ini,” pungkasnya.

Dirut PT PLN, Sofyan Basir menjawab pertanyaan saat menjadi saksi sidang dugaan suap kesepakatan kontrak kerja sama PLTU Riau-1 dengan terdakwa Eni Maulani Saragih di Pengadilan Tipikor, Jakarta, pada hari Selasa (11/12/19). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menetapkan Direktur Utama PLN Sofyan Basir sebagai tersangka. Sofyan diduga terlibat dalam korupsi pembangunan PLTU Riau-1 yang melibatkan mantan anggota Komisi VII Eni Saragih dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham.

“KPK meningkatkan penyidian SFB Direktur Utama PLN diduga membantu Eni Saragih selaku anggota DPR RI, menerima hadiah dari Johannes Kotjo terkait kesepakatan kontrak pembangunan PLTU Riau-1,” kata Komisioner KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung KPK, Selasa, 23 April 2019.

Peningkatan proses hukum dari penyelidikan ke penyidikan ini berdasarkan dua alat bukti juga berdasarkan fakta persidangan yang melibatkan empat tersangka sebelumnya, antara lain Eni Saragih, Johannes Kotjo, dan Idrus Marham.

Sebelumnya, mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim Tipikor Jakarta. Idrus dinyatakan terbukti menerima Rp 2,25 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) melalui mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.

Majelis hakim berpendapat, meski dalam perkara ini Idrus tidak menikmati hasil korupsinya. Sebab, berdasarkan fakta persidangan Idrus yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal dan pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar mengetahui penerimaan uang oleh Eni Saragih.

Sementara Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun pidana penjara oleh majelis hakim Tipikor, Jakarta Pusat. Politikus Golkar itu dinyatakan terbukti menerima suap Rp 4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo atas pengurusan proyek PLTU Riau-1.

“Mengadili oleh karena itu terhadap terdakwa Eni Maulani Saragih dengan pidana penjara selama 6 tahun denda Rp 200 juta apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 2 bulan,” ucap Ketua Majelis Hakim Yanto saat membacakan vonis Eni, pada hari Jumat (01/03/19).

Hakim juga mencabut hak politiknya selama 3 tahun.

Berdasarkan fakta persidangan, majelis hakim meyakini keterlibatan Eni dalam kasus ini diawali perintah Setya Novanto, mantan Ketua Partai Golkar, kepada Eni agar membantu bos dari Blackgold Natural Resources (BNR), Johannes Budisutrisno Kotjo, akrab disapa Kotjo, memfasilitasi bertemu dengan Direktur Utama PT PLN persero Sofyan Basir.

Sumber : Liputan6.com

Kejati Sumut Tangkap DPO Kasus Korupsi Pembangunan Kios Pasar Horas

Jakarta, (WRC) – Tim intelijen Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara menangkap terpidana kasus korupsi pembangunan kios darurat Pasar Horas Pematang Siantar, Henry Panjaitan. Penangkapan dilakukan saat Henry berada di salah satu rumah makan di Medan.

Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Sumut, Sumanggar Siagian mengatakan bahwa pihaknya membuntuti Henry dari kediamannya yang berada di Jalan Sesi Asahan Dalam, Medan Sunggal, Medan, pada hari Selasa (23/04/19). Tim Kejati Sumut menangkap saat Henry sedang sarapan di rumah makan yang berada di Jalan Sei Silau, Medang Sunggal.

“Bahwa pada Selasa 23 April 2019 tepat pukul 07.30 WIB di warung kopi Jalan Sei Silau, Medan Sunggal, Medan, tim intelijen Kejati Sumut yang dipimpin langsung Asintel Kejati Sumut, Leo Simanjuntak telah berhasil menangkap DPO terpidana korupsi atas nama Ir Henry Panjaitan umur 53 tahun,” kata Sumanggar dalam keterangan tertulis, pada hari Selasa (23/04/19).

Sumanggar menuturkan, pencarian Henry sudah dilakukan sejak awal Februari 2019. Di mana saat penelusuran diketahui bahwa ternyata Henry pernah melakukan rekam e-KTP dan telah merubah identitas.

“Ternyata DPO (Henry) pernah melakukan rekam e-KTP dan telah merubah identitas yang bersangkutan yaitu tempat lahir yang semula Kutacane menjadi Pekanbaru, kemudian tahun kelahiran yang seharusnya 1966 menjadi 1967, serta mengubah alamat rumah tempat tinggal yang semula Jalan Karet Raya Nomor 119 Perumnas Simalingkar, Medan Tuntungan, Medan menjadi Jalan Sei Asahan Dalam Nomor 15F, Tanjung Rejo, Medan Sunggal,” papar Sumanggar.

Sumanggar menjelaskan, Hendry merupakan terpidana korupsi kasus pembangunan kios darurat di Pasar Horas Pematang Siantar tahun anggaran 2002. Kasus tersebut telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 1565 K/Pid/2004 tanggal 14 Juni 2005.

Dalam putusannya, Henry divonis hukuman penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subsider 6 bukan. Henry juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 247 juta.

(zak/fdn)

 

Sumber : detik.com

Hakim Nilai Idrus Marham Tak Menikmati Uang Korupsi

Jakarta, (WRC) – Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai bahwa terdakwa Idrus Marham secara fisik tidak menikmati uang suap senilai Rp 2,250 miliar yang diperoleh dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.

Hal itu diungkapkan majelis hakim saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (23/04/19).

“Meski secara fisik terdakwa tidak menikmati uang yang diperoleh Eni Maulani Saragih,” ujar anggota majelis hakim Anwar saat membacakan pertimbangan.

Menurut hakim, Idrus mengetahui dan menghendaki penerimaan uang Rp 2,250 miliar yang diterima Wakil Ketua Komisi VII DPR saat itu, Eni Maulani Saragih.

Uang dari Johannes Kotjo itu untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar.

Majelis hakim menilai, Idrus secara aktif membujuk agar Kotjo memberikan uang kepada Eni.

Selain untuk membiayai keperluan partai, uang tersebut juga untuk membiayai keperluan suami Eni yang maju dalam pemilihan kepala daerah di Temanggung.

“Untuk meyakinkan Johannes Kotjo, terdakwa bilang ‘Tolong dibantu ya’. Lalu diserahkan Rp miliar kepada Eni,” ujar hakim.

Idrus divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan.

Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK, yakni lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan.

Menurut hakim, Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.

Dalam kasus ini, Idrus terbukti menerima suap bersama-sama Eni Maulani Saragih. Eni merupakan anggota Fraksi Partai Golkar.

Pemberian uang tersebut agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.

Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.

 

Sumber : Kompas.com

Dalami Korupsi E-KTP, KPK Periksa Mantan Dirut PT LEN Industri

Jakarta, (WRC) – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan mantan Direktur Utama PT LEN Industri Persero Wahyudin Bagenda dalam kasus korupsi e-KTP. Wahyudin akan dimintai keterangan untuk melengkapi berkas penyidikan politikus Golkar Markus Nari.

“Saksi Wahyudin Bagenda akan diperiksa untuk tersangka MN (Markus Nari),” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Selasa (23/04/19).

Wahyudin sendiri sempat mengaku menerima uang Rp 2 miliar dalam kasus e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu. Wahyudin mengakui hal tersebut di hadapan penyidik dan tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Namun saat diperiksa di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 4 Mei 2017, Wahyudin tak mengakui BAP yang berisi soal penerimaan uang Rp 2 miliar.

Selain Wahyudin, penyidik juga akan memeriksa 5 saksi lain, yakni staf Bagian Sistem Managemen PT LEN Industri Tahyan, pihak swasta bernama Yani Kurniati, pensiunan PNRI Haryoto, mantan Koordinator Bagian Keuangan Manajemen Bersama Konsorsium PNRI Indri Mardiani, serta karyawan Perum PNRI Kurnianto.

“Kelimanya akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka MN,” kata Febri.

Dalam perkara e-KTP ini KPK sudah mengantarkan tujuh orang ke dalam penjara. Ketujuh orang tersebut dinilai hakim terbukti melakukan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari proyek sebesar Rp 5,9 triliun.

Dua mantan pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto yang masing-masing divonis 15 tahun penjara, mantan Ketua DPR Setya Novanto yang juga 15 tahun penjara, pengusaha Andi Narogong 13 tahun penjara, dan Anang Sugiana Sudihardjo dengan 6 tahun penjara.

Sedangkan Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Massagung masing-masing 10 tahun penjara. Sementara itu, politikus Partai Golkar Markus Nari masih menjalani proses penyidikan. KPK menetapkan Markus Nari sebagai tersangka dalam kasus e-KTP.

Ini merupakan status tersangka kedua bagi Markus. Markus Nari juga dijadikan tersangka dalam kasus merintangi proses hukum. Markus diduga menekan mantan anggota Komisi II DPR Miryam‎ S Haryani agar memberikan keterangan tidak benar pada persidangan.

Markus Nari juga diduga memengaruhi terdakwa Irman dan Sugiharto pada persidangan kasus e-KTP. Markus dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana ‎Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

 

Sumber : liputan6.com

Kausu Suap Eks Gubernur Sumut, KPK Eksekusi Muslim Ke Lapas Sukamiskinj

Jakarta, (WRC)  – Komisi Pemberantasan Korupsi mengeksekusi eks Anggota DPRD Sumatera Utara Muslim Simbolon yang menjadi terpidana ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa barat, pada hari Senin (22/04/19).

Muslim dieksekusi setelah majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memberikan vonis penjara 4 tahun dalam kasus penerimaan hadiah terkait fungsi kewenangan DPRD Sumut periode 2014 – 2019.

“KPK telah melakukan eksekusi terhadap terpidana korupsi Muslim Simbolon, Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara ke Lapas Sukamiskin,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, pada hari Senin (22/04/19).

Muslim telah dibawa ke Lapas Sukamiskin setelah sebelumnya mendekam di Rumah Tahanan KPK Cabang C-1.

Sebelumnya, KPK telah menetapkan 38 anggota DPRD Sumut sebagai tersangka. Mereka diduga menyalahgunakan wewenang atau jabatannya, dengan menerima hadiah atau janji dari Gatot Pujo Nugroho saat menjabat sebagai Gubernur Sumut.

Atas perbuatan tersebut, mereka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sumber: suara.com

Jadi Saksi Korupsi Mading Elektronik, Bupati Kendal Mengaku Tidak Tahu

Kendal, (WRC) – Bupati Kendal Mirna Annisa mengaku tidak tahu menahu terkait kasus dugaan korupsi majalah dinding (mading) elektronik di Dinas Pendidikan Kendal pada 2016 silam.

Hal itu dia ungkapkan saat dimintai keterangan jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jawa Tengah pada hari Senin (22/04/19).

Mirna diperiksa bersama dengan lima saksi lainnya, satu di antaranya yakni Rubiyanto. Anggota DPRD Kendal ini sebelumnya sudah pernah dijadikan saksi dalam sidang kasus tersebut.

“Saya baru paham (kasus dugaan korupsi mading elektronik) setelah dimintai keterangan oleh Kejati Jateng. Perencanaan E-Mading ini sudah ada sebelum saya dilantik menjadi bupati,” kata dia di hadapan Ketua Majelis Hakim, Ari Widodo, pada hari Senin (22/04/19).

Mirna menjelaskan setelah tahu kasus ini, kemudian meminta kepada Inspektorat Kendal untuk melakukan inspeksi.

Dari sana, pihaknya disarankan meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit secara keseluruhan.

Lalu saat ditanya jaksa terkait Junaedi, Mirna juga menjelaskan bahwa Junaedi merupakan tetangga di kampungnya. Meski demikian, dia mengaku tidak pernah berbincang secara khusus dengannya.

“(Junaedi) tetangga di kampung. Beberapa kali ketemu kalau saat lebaran. Ketemunya juga bareng-bareng. Ketika saya dilantik, dia juga mengucapkan selamat. Hanya itu,” jelas Mirna.

Junaedi sebelumnya disebut Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kendal, Joko Supratikno sebagai orang dekat Mirna. Adapun, Junaedi adalah kepala SD Surokonto Wetan 01 Kendal.

Sebelumnya, dugaan korupsi mading elektronik ini menjerat Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kendal, Muryono. Dalam kasus ini, terdakwa Muryono, saat itu masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kendal.

Proyek mading elektronik Dinas Pendidikan Kendal Tahun Anggaran 2016 ini untuk 30 paket mading elektronik 30 SMP se-Kendal. Anggaran dananya mencapai Rp 6 miliar. Adapun pada 30 paket mading elektronik itu, 29 paket diduga tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

Atas perbuatan terdakwa, jaksa menjerat Muryono dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. Selain itu, jaksa juga menjerat terdakwa dengan Pasal 3 pada undang-undang yang sama.

Sumber : suara.com

Navigasi pos