Jakarta, (WRC) – Ahli ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Rimawan Pradiptyo menyebut ada biaya sosial korupsi yang mencapai Rp 509,57 triliun. Namun, KPK menilai angka tersebut bisa saja lebih besar lagi.

“Setiap metode atau cara model menghitungnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun angka yang disampaikan di atas, kalau menurut akal sehat saya bisa jauh lebih besar lagi. Anggap saja setiap belanja barang sekian tahun diambil sekian persen sudah berapa hilang,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang kepada detikcom, pada hari Jum’at (08/03/19).

Namun, Saut tak menyebut detail berapa angka yang diperkirakannya itu. Dia mengatakan biaya sosial korupsi itu sebagai kerugian yang tidak ternilai dibanding dengan angka hasil audit dari lembaga yang berwenang.

“Ini kerugian yang tidak ternilai (intangible) dibanding dengan angka hasil audit bisa keluar hasil pemeriksaan pada penyelenggara yang harus bertanggung jawab,” jelas Saut.

Selain itu, Saut juga bicara soal selisih besar antara uang pengganti yang dibebankan pada para koruptor dengan kerugian yang terjadi akibat korupsi. Menurut Saut, ada sejumlah masalah yang membuat pengembalian kerugian itu tak maksimal.

“Terdapat ketidakjelasan tujuan pembayaran uang pengganti, kedua, rumitnya menghitung uang pengganti, ketiga dualisme penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan, keempat misinterpretasi pidana penjara pengganti dan komitmen jaksa eksekutor, kelima disparitas lamanya pidana penjara pengganti dan keenam tidak optimalnya kebijakan penyitaan dalam perkara tipikor,” jelasnya.

Untuk memaksimalkan pengembalian kerugian itu, ada sejumlah langkah yang menurut Saut telah dilakukan KPK. Antara lain, optimalisasi penyitaan, penerapan tindak pidana pencucian uang (TPPU) hingga pidana korporasi.

“Ini sudah menjadi komitmen KPK tanpa harus mengabaikan azas-azas penegakan hukum pembuktian, TPPU, pidana korporasi dan lain-lain,” ujar Saut.

Sebelumnya, Rimawan membuat hitung-hitungan tentang kerugian akibat korupsi. Dia menyebut kerugian akibat korupsi bukan cuma kerugian keuangan negara, namun ada juga biaya sosial korupsi yang disebutnya mencapai 2,5 kali jumlah kerugian keuangan negara.

Dia lalu menyebut, berdasar data yang dimiliki UGM dari 2001 hingga 2015, kerugian negara akibat korupsi di Indonesia berjumlah Rp 203,9 triliun. Namun, total hukuman finasial hanya Rp 21,26 triliun atau setara sekitar 10 persen. 

“Kalau kita perhitungkan dengan biaya sosial korupsi, katakanlah 2,5 kali lipat maka biaya sosial korupsi kita itu minimum Rp 509,75 T. Kerugian negara Rp 203,9 T, tapi total hukuman finansial sekitar Rp 21,3 T, gap-nya sangat jauh Rp 488,5 T karena kita memperhitungkan damage,” ucap Rimawan.

“Rp 488,5 T itu kalau direlokasi jadi apa? Satu, jadi 10 PTN sebesar UGM selama 5 tahun, itu Rp 150 T. UGM ada 60 ribu mahasiswa S1-S3 jadi kita bicara sekitar 600 ribu mahasiswa itu free belajar 5 tahun. Dua rel kereta cepat Jakarta-Surabaya itu Rp 200 T. Masih ada sisa Rp138,5 T itu bisa menutupi defisitnya BPJS Kesehatan 2017 selama 15,2 tahun,” sambungnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *