Denpasar, (WRC) – Eks Ketua Kadin Bali AA Ngurah Alit didakwa kasus penipuan atau penggelapan terkait kasus perizinan Pelabuhan Benoa, Bali. Alit didakwa menerima duit Rp 16,1 miliar.
“Bahwa terdakwa Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra dalam kurun waktu bulan November 2011 sampai dengan bulan Agustus 2012 bertempat di rumah Made Jayantara, Jl Jayagiri XVII Denpasar, Restoran Kopi Bali Jl Bypass Ngurah Rai, Sanur, Denpasar, dan di Kantor HIPMI Bali di Restoran Sector Bali Beach Sanur dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan mempergunakan sebuah nama palsu, atau suatu sifat palsu dengan mempergunakan tipu muslihat ataupun dengan mempergunakan susunan kata-kata bohong, menggerakkan saksi korban Sutrisno Lukito Disastro yang bertindak dirinya sendiri dan/atau bertindak untuk dan atas nama PT Bangun Segitiga Mas untuk menyerahkan suatu benda berupa uang sebesar Rp 16,1 miliar atau setidak-tidaknya di sekitar jumlah itu mengadakan perjanjian utang taupun meniadakan piutang,” kata jaksa I Gde Raka Arimbawa saat membacakan surat dakwaan di PN Denpasar, Jl PB Sudirman, Denpasar, Bali, Senin (17/6/2019).
Dalam dakwaannya jaksa menyebut awal November 2011 Sutrisno Lukito Disastro dan rekannya Abdul Satar datang ke Bali untuk berinvestasi di proyek pengembangan kawasan pelabuhan Benoa. Dari situlah Sutrisno lalu mencari orang untuk mempermudah izin pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa.
Saat itu, Alit dikenalkan oleh Made Jayantara yang sebelumnya dihubungi oleh Candra Wijaya. Alit yang kala itu menjabat sebagai wakil ketua Kadin Bali pun langsung menyanggupi permintaan tersebut.
“Terdakwa mengatakan ‘saya bisa bli, karena saya adalah anak angkat dari Gubernur Bali dan saya sangat dekat dengan gubernur Bali, bahkan anaknya gubernur Bali yang bernama Sandoz saja dititipkan kepada saya’. Dan saksi Made Jayantara mengatakan ‘apakah kamu sanggup Alit mempertemukan Sutrisno Lukito Disastro dengan Gubernur Bali?’ dan terdakwa mengatakan ‘Ya saya sanggup mempertemukan Sutrisno Lukito Disastro dengan Gubernur Bali’,” kata Arimbawa.
Rangkaian pertemuan lalu dilakukan selama 2011-2012 hingga akhirnya muncul surat kesepakatan antara Alit dengan Sutrisno dan Abdul Satar. Dalam surat kesepakatan itu menyinggung soal tugas masing-masing pihak untuk memuluskan perizinan proyek pengembangan Pelabuhan Benoa.
Untuk mengurus proses perizinan pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa, Alit mengajukan permintaan dana operasional sebesar Rp 30 miliar ke Sutrisno. Alit beralasan uang itu digunakan sebagai uang operasional yang akan disetorkan ke instansi terkait untuk memperlancar proses pengurusan izin.
Tak hanya itu, Alit juga meminta jatah saham sebesar 15 persen di PT Bangun Segitiga Mas atau setara dengan nilai uang Rp 50 miliar sebagai konsekuensi logis mengurus perizinan. Terdakwa Alit juga meyakinkan Sutrisno untuk membuat perjanjian hitam di atas putih.
“Dengan adanya kata-kata atau ucapan yang disampaikan terdakwa Alit tersebut membuat saksi Sutrisno Lukito Disastro menjadi bertambah yakin dan semakin percaya kepada terdakwa Alit dan selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan saling pengertian tentang kerja sama tanggal 26 Januari 2012 yang ditandatangani oleh Sutrisno sebagai pihak pemberi dana dalam pengurusan izin-izin pengembangan dan pembangunan kawasan pelabuhan benoa, dan terdakwa Alit sebagai orang yang mampu mengurusi semua izin-izin proyek pengembangan dan pembangunan kawasan pelabuhan,” urai Arimbawa.
Dalam prosesnya, pada 19 Juni 2013 terbit surat Bappeda Pemprov Bali perihal paparan Feasibility Study PT Bangun Segitiga Mas dapat disetujui sepanjang memenuhi ketentuan Perundang-undangan yang berlaku dan mendapatkan persetujuan/rekomendasi dari DPRD Provinsi Bali. Kemudian pada 21 Januari 2014 terbit surat Ketua DPRD Provinsi Bali perihal paparan Feasibility Study PT Bangun Segitiga Mas dapat disetujui sepanjang memenuhi ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.
“Namun, kedua surat tersebut bukanlah surat rekomendasi gubernur Bali seperti yang diinginkan oleh PT Bangun Segitiga Mas dalam hal ini adalah Sutrisno Lukito Disastro namun kedua surat tersebut sebagai syarat kelengkapan untuk mengajukan surat permohonan rekomendasi dari gubernur Bali,” jelasnya.
Padahal dalam perjalanan waktu, pihak Lukito telah menyetorkan uang secara bertahap sejumlah Rp 16,1 miliar ke terdakwa Alit. Pihak Alit juga tidak bisa menerbitkan surat rekomendasi gubernur sesuai perjanjian awal.
“Namun terdakwa Alit tidak pernah menindaklanjuti pengurusan surat rekomendasi tersebut, dan surat rekomendasi pengembangan kawasan pelabuhan Benoa tidak pernah diterbitkan oleh gubernur Bali kepada PT Bangun Segitiga Mas sudah lewat 6 bulan dari yang dijanjikan bahkan sampai sekarang sudah lewat 7 tahun sebagaimana yang dijanjikan oleh terdakwa Alit, dan uang yang diberiksan saksi Sutrisno Lukito Disastro sebesar Rp 16,1 miliar kpeda terdakwa ternyata tidak dipergunakan untuk melakukan pengurusan izin-izin dan rekomendasi gubernur untuk pengembangan dan pembangunan pelabuhan Benoa tetapi oleh terdakwa digunakan untuk kepentingan pribadinya sebesar Rp 1 miliar dan dibagi-bagikan kepada Putu Pasek Sandos Prawirottama sebesar Rp 7,5 miliar dan USD 80 ribu; Candra Wijaya sebesar Rp 4,6 miliar; I Made Jayantara sebesar Rp 1,1 miliar, ” ujar Arimbawa.
“Bahwa terdakwa Alit tidak bisa mengurus surat rekomendasi tersebut, sehingga Sutrisno Lukito Disastro meminta kepada Alit agar dana tersebut dikembalikan namun Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra tidak mau mengembalikan yang mengakibatkan saksi Lukito Disastro mengalami kerugian Rp 16,1 miliar,” ujar Arimbawa.
Atas perbuatannya Alit dijerat dengan pasal 378 KUHP atau pasal 372 KUHP.
(ams/rvk)
Sumber : detik.com