Jakarta, (WRC) – Beberapa waktu lalu BPK telah memeriksa Neraca Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tanggal 31 Desember 2017, Laporan Operasional.
Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Kealisasi Anggaran untuk Taliun yang berakhir pada tanggal tersebut serta Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Keuangan adalah tanggung jawab Bawaslu.
BPK telah menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan atas Laporan Keuangan Bawaslu Tahun 2017 yang mernuat opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Nomor 27a/HP/XIV/05/2018 tanggal 18 Mei 2018 dan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern Nomor 27b/HP/XIV/05/2018 tanggal 18 Mei 2018.
Sebagai bagian pemerolehan keyakinan yang memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), BPK melakukan pengujian kepatuhan pada Bawaslu terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, keeurangan serta ketidakpatutan yang berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan.
Namun, pemeriksaan yang dilakukan BPK atas Laporan Keuangan Bawaslu tidak dirancang khusus untuk menyatakan pendapat atas kepatuhan terhadap keseluruhan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, BPK tidak menyatakan suatu pendapat seperti itu. BPK menemukan adanya ketidakpatuhan dalam pengujian kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pada Bawaslu.
Pokok-pokok temuan ketidakpatuhan antara lain adalah Pembcrian honorarium kepada PNS Penierintah Provinsi DKI pada kegiatan pengawasan Pemilihan Kepala Daerah Provinsi DKI Tahun 2017 tidak sesuai ketentuan senilai Rpl,52 miliar. Hal ini terjadi karena Kuasa Pengguna Anggaran dhi.
Kepala Sekretariat Bawaslu DKI tidak mempedomani Peraturan Gubemur Nomor 409 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa PNS DKI tidak boleh menerima segala bentuk honor yang bersumber dari APBD.
Kelebihan pembayaran atas realisasi belanja barang dan jasa pada Bawaslu Provinsi DKI Jakarta senilai Rp.1,02 miliar dan realisasi belanja barang dan jasa yang tidak ada bukti pertanggungjawabannya senilai Rp.192,99 juta bclum dapat diyakini kewajarannya.
Hal ini terjadi karena Bendahara Pcngeluaran Pembantu pada Bawaslu Provinsi DKI Jakarta kurang cermat dalam melakukan penelitian kelengkapan perintah pembayaran dan Kepala Sekretariat Bawaslu Provinsi DKI Jakarta selaku PPK kurang optimal melakukan pengawasan dan pengendalian dan Penyelenggaraan Pengawasan Pemilihan (TP3) Sebesar Rp.1,00 Miliar Belum Sesuai Ketentuan.
Selain itu Terdapat Laptop Sebesar Rp.99,00 Juta yang Dikuasai oleh Anggota Bawaslu yang Telah Nonaktif dan Sebesar Rp.187,26 Juta Tidak Diketahui Keberadaannya.(PRI)