Semarang, (WRC) – Sidang perdana kasus korupsi yang melibatkan Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan (51) di Pengadilan Tipikor Semarang, pada hari Rabu (20/03/19) menghadirkan nama-nama baru yang disebut dalam persidangan.

Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa Eva Yustiana dari Komisi Pemberantasan Korupsi, dua bupati yang terlibat yaitu Bupati Kebumen di tahun 2016 M Yahya Fuad dan Bupati Purbalingga periode 2017 Tasdi.

Kedua bupati (mantan) itu sama-sama menghuni Lapas Kedungpane atas kasus korupsi di daerahnya masing-masing.

Sementara dua kader PAN yang disebut yaitu Ketua DPW PAN Jawa Tengah Wahyu Kristanto dan kader PAN yang juga caleg DPR RI Haris Fikri.

Keduanya diduga secara bersama-sama membantu transaksi suap kepengurusan dana alokasi khusus di Kabupaten Purbalingga. Ada transaksi Rp 1,2 miliar yang melibatkan keduanya, dan Taufik Kurniawan.

Dalam dakwaan, Taufik didakwa menerima suap hingga Rp 4,8 miliar ketika membantu mengurus dana alokasi khusus (DAK) di Kabupaten Kebumen dan Purbalingga. Dia dijerat dengan dua pasal.

Pertama, diduga melanggar ketentuan pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara dakwaan pasal kedua yaitu diduga melanggar ketentuan pasal 11 undang-undang yang sama. 

Berikut cerita seputar persidangan Taufik Kurniawan. 

  1. Sewa 3 Kamar Hotel Bintang 5

Untuk memastikan keamanan transaksi pemberian suap, Taufik menyewa 3 kamar hotel berbintang di Kota Semarang. 3 kamar yang dipesan juga harus berdekatan, sehingga transaksi bisa dipantau langsung olehnya.

Transaksi pun dilakukan di kamar hotel. Utusan Bupati Purbalingga Yahya Fuad, Hojin Anshori, berhenti dnegan utusan Taufik, Rahmat Sugiarto di Hotel Gumaya kamar 1211. Taufik berada di kamar sebelahnya dan memantau transaksi suap.

“Tahap 1 diserahkan Hojin Anshori ke Hotel Gumaya, ke kamar 1211 ke utusan Taufik bernama Rahmat Sugiarto. Lalu Rahmat menyerahkan ke Taufik di hotel yang sama. Dia (Taufik) bilang “cepat-cepat”, ‘letakkan saja disana’,” ujarnya, menirukan percakapan.

Uang tahap pertama diserahkan Hojin sebesar Rp 1,6 miliar. Setelah alokasi dana alokasi khusus tahun 2016 cair Rp 93,3 miliar, uang tahap kedua sebesar Rp 2 miliar kemudian diserahkan di hotel yang sama pada Agustus 2016.

“Penyerahan di kamar 815. Rahmat bilang, ‘Ini Pak, titipan Pak bupati’, lalu uang Rp 2 miliar dikasihkan. Taufik kemudian menjawab, ‘ya udah tinggal saja’. Setelah itu, Taufik menyampaikan ke Fuad (Bupati Kebumen kala itu), fee telah diterima,” tambahnya. 

  1. Libatkan 2 kader PAN

Sementara pemberian uang fee dari Bupati Purbalingga sebesar Rp 1,2 miliar diserahkan di kediaman Wahyu Kristianto di Wanareja. 2 kader PAN Wahyu Kristanto dan Haris Fikri disebut terlibat didalamnya karena disebut membantu transaksi penerimaan uang suap.

aksa Eva menegaskan dua politisi PAN masih berstatus sebagai saksi. Mereka akan dihadirkan di persidangan untuk kasus ini.

“Posisinya masih sebagai saksi,” kata Jaksa Eva.

Keterlibatan Wahyu, kata jaksa, ketika terdakwa Taufik selalu wakil DPR RI menawarkan dana alokasi khusus untuk Purbalingga di tahun 2017. Taufik datang bersama Wahyu, kemudian bertemu Bupati Purbalingga kala itu, Tasdi, di Pendopo Bupati pada 18 Maret 2017.

Dalam pertemuan itu, Taufik menjanjikan membantu DAK namun dengan imbalan fee 5 persen. Tasdi setuju. DAK yang diusulkan Rp 40 miliar.

Setelah dana cair, uang fee sebesar 5 persen atau Rp 1,2 miliar kemudian diserahkan di rumah Wahyu di Wanareja. Uang itu kemudian dibagi dua, yaitu Rp 600 juga untuk Haris Fikri, dan Rp 600 juta untuk Wahyu.

“Akan dimintai keterangan. Ikuti saja persidangan selanjutnya,” kata Taufik.

  1. Mengaku Sakit

Setelah dakwaan selesai dibacakan, Taufik tidak keberatan atas surat dakwaan yang dibacakan. Namun, politisi berusia 51 tahun ini keberatan karena ditahan di Rumah Tahanan Polda Jawa Tengah.

Di dalam sidang, dia mengajukan permohonan pindah tahanan dari Rutan Polda Jawa Tengah ke Lapas Kedungpane Semarang. Salah satu alasannya karena terdakwa sedang sakit.

“Sakit, ada beberapa penyakit, perlu perawatan intensif,” timpal Deni Bakri, pengacara Taufik, sesuai sidang.

Namun jaksa tegas menolak. Menurut Eva, pemindahan tidak diperlukan karena di rutan Polda dekat dengan akses untuk berobat.

“Permohonan pindah Lapas kami keberatan, kalau di Lapas alasan karena sebagian besar saksi ada di Lapas (Kedungpane),” ujar jaksa.

Majelis hakim yang diketuai hakim Antonius Widjantono belum akan mengambil sikap atas permintaan pemindahan ini. Pertimbangan dari para pihak akan dijadikan landasan dalam putusan nantinya.

“Akan dipertimbangkan kemudian. Tidak bisa sekarang ini,” katanya. 

  1. Irit Komentar

Sesuai sidang, Taufik mulai meninggalkan ruang sidang. Dia memilih tak berkomentar panjang atas kasusnya.

“Ikuti saja di persidangan. Cukup ya,” kata Taufik, sambil berjalan menuju pintu keluar ruang sidang.

Berkali-kali ditanya wartawan, Taufik tetap memilih diam.

Begitu pula ketika dimintai tanggapan soal dugaan teror ke salah satu saksi untuk mengubah keterangan tertentu di Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

“Besok ditanyakan ke persidangan, saya tidak tahu malahan,” tambahnya.

Sementara ketika ditanya soal penerimaan uang suap Rp 4,8 miliar, kemudian dihubungkan dengan uang yang sudah dikembalikan Rp 3,65 miliar, Taufik tetap tak mau berkomentar banyak.

“Itu sudah materi persidangan, kita ikuti saja ya,” ujarnya.

 

Sumber : kompas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *