Jakarta, (WRC) – Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berharap Mahkamah Agung ( MA) bijaksana dalam menangani Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan para narapidana kasus korupsi.

Menurut Fickar, para pemohon sering mencari peruntungan dengan memanfaatkan bukti-bukti yang sudah diajukan di pengadilan, sebagai novum atau keadaan baru saat mengajukan PK.

Hal itu disampaikan Fickar dalam diskusi yang diadakan di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, pada hari Rabu (13/03/19).

“Menjadi tidak masuk akal kalau nanti ada PK masih memakai bukti-bukti yang pernah diajukan di pengadilan. Novum di sini bukan bukti baru loh, tapi keadaan baru, karena itu dia tidak mengakomodir bukti-bukti yang pernah dikeluarkan para pihak, itu tidak dianggap baru lagi,” kata Fickar.

Selain keadaan baru, kata Fickar, PK juga bisa diajukan apabila dalam putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi dasar keadaan dan alasan yang dinyatakan terbukti itu ternyata bertentangan satu sama lain.

Kemudian, putusan memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

“Yang dimanfaatkan pemohon PK adalah dua, kekeliruan atau keadaan baru. Mestinya PK itu betul-betul selektif. Mahkamah Agung harus ketat menyeleksi itu. Misalnya, bener enggak ada keadaan baru? Kalau enggak ada keadaan baru saya kira, ya, harus ditolak,” ujar dia.

Hal senada juga disampaikan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Sepanjang 2018, ada 26 narapidana kasus korupsi yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

“Mereka mengemukakan kembali bukti yang sebenarnya sudah diungkap baik di persidangan tingkat pertama, tingkat kedua atau pun kasasi. Nah itu kita sudah mafhum bahwa itu bukan dikategorikan novum baru sebenarnya,” ujar Kurnia.

Hampir sebagian besar yang mengajukan PK secara kebetulan waktunya terjadi setelah pensiunnya Artidjo Alkostar sebagai hakim agung pada Mei 2018.

“ICW mencatat sejak 2009 sampai ia pensiun, ada 10 narapidana korupsi yang ditolak permohonan PK-nya. Atas dasar itu, maka menjadi mudah membangun teori kausalitas atas tindakan narapidana yang mengajukan PK saat ini,” kata dia.

Kurnia memandang, banyaknya pengajuan PK juga dikarenakan sosok pengganti Artidjo, yaitu Suhadi. Menurut dia, Suhadi memiliki rekam jejak yang tidak terlalu baik.

“Pak Suhadi yang menjadi Ketua Kamar Pidana MA saat ini yang kita tahu punya rekam jejak yang tidak terlalu baik ketika menyidangkan perkara korupsi. Kita masih ingat dia membebaskan terpidana kasus korupsi BLBI Sudjiono Timan,” kata dia.

Padahal, lanjut Kurnia, saat mengajukan PK, Sudjiono berstatus buron. Saat itu, PK diajukan oleh istrinya sendiri.

“Dan akhirnya memutus bebas, padahal sudah ada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 yang melarang terpidana kasus korupsi mengajukan PK untuk diwakilkan,” ujar dia.

Oleh karena itu, Kurnia berharap MA bersikap objektif dan imparsial dalam menangani PK narapidana kasus korupsi. Hal itu dinilai penting demi menjaga kepercayaan publik.

“Komisi Yudisial juga tahun lalu sudah mengingatkan Mahkamah Agung agar bisa memutuskan sidang itu secara objektif, imparsial dan tanpa ada tekanan dari siapapun,” pungkasnya. 

 

Sumber : Kmpas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *